Telaah
Implikasi PP 22/2020 bagi Usaha Jasa Konstruksi
Oleh
Peter Frans *),
Akhirnya setelah lebih dari tiga tahun sejak
terbit UU No 2/2017 tentang Jasa Konstruksi, tepat pada Hari Kartini tahun ini,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2020 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang -Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi. Banyak hal menarik untuk ditelaah, bagaimana dampak dan implikasi
PP No 22/2020 bagi para pelaku usaha jasa konstruksi.
Secara
normatif, UU No 2/2017 tentang Jasa Konstruksi berlaku secara nasional, baik
untuk proyek pemerintah, badan usaha swasta/BUMN, dan perorangan. Namun dalam
praktik di lapangan, UU Jasa Konstruksi masih dianggap hanya mengatur
proyek-proyek pemerintah, atau bahkan dianggap hanya mengatur proyek konstruksi
di lingkungan Kementerian PUPR. Masih ada beberapa Kementerian yang
menyelenggarakan proyek jasa konstruksi belum mengikuti UU No 2 Tahun 2017.
Apalagi proyek-proyek swasta.
Dalam
PP No 22/2020 dipertegas bahwa ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini berlaku
bagi: pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Dalam pasal
3 ayat (2), berbunyi: Pengguna jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi: a. pemerintah; b. badan usaha; dan c. orang perseorangan dengan
tujuan untuk usaha.
Dengan
demikian, sudah jelas bahwa UU No 2 Tahun 2017 berserta aturan turunannya (PP
dan Permen) berlaku pada pekerjaan konstruksi di Indonesia, baik sektor
pemerintah, badan usaha (swasta dan BUMN) maupun usaha perorangan. Jika
melanggar ketentuan peraturan perundangan tersebut akan terkena sanksi hukum.
Standar
Remunerasi Minimal
Isu
tentang remunerasi tenaga ahli jasa konsultansi konstruksi, sebagaimana diatur
dalam UU No 2 Tahun 2017, pasal 43 ayat (2) dan ayat (3), kembali dipertegas
dalam PP No 22/2020. Dalam UU No 2/2017 pasal 43 antara lain disebutkan: Dalam
hal pemilihan penyedia layanan jasa konsultansi konstruksi yang menggunakan
tenaga kerja konstruksi pada jenjang jabatan ahli, pengguna jasa harus
memperhatikan standar remunerasi minimal. Standar remunerasi minimal ditetapkan
oleh menteri.
Dalam
PP No 22/2020, pasal 64 kembali ditegaskan: Pemilihan penyedia layanan jasa
konsultansi konstruksi yang menggunakan tenaga kerja konstruksi pada jenjang
jabatan ahli harus memperhatikan standar remunerasi minimal. Dalam hal seleksi
penyedia jasa konsultansi konstruksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat
(3) dan ayat (5), menggunakan tenaga kerja konstruksi pada jenjang jabatan
ahli, maka pengguna jasa dalam perencanaan pembiayaan, penghitungan besaran
remunerasi tenaga ahli harus lebih tinggi dari standar remunerasi minimal.
Dalam
PP No 22/2020, sanksi bagi pengguna jasa yang melanggar ketentuan standar
remunerasi minimal ini lebih dipertegas, sebagaimana diatur dalam pasal 160,
yaitu:
- ·
Menteri,
gubernur, bupati/wali kota mengenakan sanksi peringatan tertulis dan/atau denda
administratif kepada pengguna jasa yang menggunakan layanan profesional tenaga
kerja konstruksi pada kualifikasi jenjang jabatan ahli yang tidak memperhatikan
remunerasi minimal.
- · Pengenaan sanksi
denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
pengguna jasa yang tidak memperhatikan remunerasi minimal dengan besaran denda
sebesar selisih dari standar nilai remunerasi minimal.
Peraturan
standar remunerasi minimal bagi tenaga ahli konstruksi merupakan darah segar bagi
para konsultan, namun masih perlu ada beberapa penyempurnaan agar aturan
tersebut lebih efektif. Antara lain, perlunya penyesuaian secara berkala
Standar Remunerasi Minimal yang diterbitkan oleh Kementerian PUPR, mengingat
Kepmen PUPR 897/2017 yang mengatur besaran standar remunerasi minimal, hingga
saat ini belum disesuaikan.
Inkindo
pernah mengusulkan hal tersebut kepada Kementerian PUPR melalui surat, karena
dalam Permen No 19/2017 dinyatakan: “Penyesuaian besaran remunerasi minimal
tenaga kerja konstruksi pada jenjang jabatan ahli dapat dilakukan setiap tahun
berdasarkan nilai inflasiâ€.
Di
samping itu, standar remunerasi ini juga perlu dilengkapi dengan standar
remunerasi tenaga kerja konstruksi non tenaga ahli (tenaga terampil). Hal ini
diperlukan, mengingat ada kecenderungan terjadi persaingan tidak sehat dalam
seleksi konsultan, akibat tidak adanya standar minimal remunerasi tenaga
terampil.
Kesetaraan
dalam Kontrak
Salah
satu tanggung jawab pemerintah pusat, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 3 Ayat
(1) huruf b PP No 22/2020 adalah “Terciptanya iklim usaha yang kondusif,
penyelenggaraan jasa konstruksi yang transparan, persaingan usaha yang sehat,
serta jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara pengguna jasa dan penyedia
jasaâ€.
Selanjutnya
dalam pasal 81 Ayat (2) huruf b, ada klausal tentang â€ganti rugi keterlambatan
pembayaranâ€. Hal tersebut tentu merupakan kemajuan terkait dengan kontrak kerja
konstruksi yang diharapkan dapat mewujudkan kesetaraan para pihak dalam kontrak
kerja konstruksi.
Dalam
PP 22/2020 juga diatur tentang pemberian insentif bagi penyedia jasa yang bisa
menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari jadwal waktu yang ditetapkan.
Disebutkan, dalam pasal 78: (1), selain ketentuan sebagai mana dimaksud dalam
pasal 76, kontrak kerja konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang
pemberian insentif. (2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. transparan; b. akuntabel;
c. responsif; dan d. adil. (3) Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan apabila penyedia jasa konstruksi dapat menyelesaikan
pekerjaan sebelum masa kontrak dengan tetap menjaga standar dan ketentuan yang
telah disepakati di dalam kontrak. (4) Penentuan adanya pemberian insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditetapkan sejak proses kegiatan
persiapan.
Hal
lain yang perlu diperhatikan terkait dengan kontrak kerja konstruksi adalah
peran penelaahan ahli untuk pekerjaan konstruksi yang berteknologi tinggi dan
berisiko tinggi. Hal itu disebutkan dalam pasal 79 PP No 22/2020, yang
berbunyi: Kontrak kerja konstruksi untuk jasa konsultansi konstruksi atau
pekerjaan konstruksi yang memerlukan teknologi tinggi, mempunyai risiko tinggi,
dan/atau menggunakan peralatan yang didesain khusus, dapat diberikan penelaahan
oleh ahli kontrak kerja konstruksi sebelum ditandatangani oleh para pihak.
Kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi harus
diberikan penelaahan oleh ahli kontrak kerja konstruksi sebelum ditandatangani
oleh para pihak.
Ini
merupakan hal penting untuk dicermati, karena melalui penelaahan ahli hendaknya
juga termasuk aspek kesetaraan dalam kontrak antara penyedia dan pengguna jasa,
sehingga kontrak konstruksi mejadi lebih fair.
Kewenangan
Gubernur
Gubernur
sebagai pembina jasa konstruksi di tingkat provinsi, diberikan kewenangan yang
cukup besar dalam pengaturan pengadaan jasa konstruksi yang menggunakan dana
APBD, sebagai perwujudan pembinaan jasa konstruksi di provinsi. Dalam pasal 112
disebutkan :
- ·
Gubernur dapat
mengembangkan kebijakan khusus pembinaan jasa konstruksi dalam lingkup daerah
provinsi.
- ·
Kebijakan khusus
sebagaimana dimaksud meliputi: kerja sama operasi dan/atau kemitraan badan
usaha jasa konstruksi luar daerah dengan badan usaha jasa konstruksi provinsi;
dan/atau penggunaan subpenyedia jasa daerah.
- ·
Penetapan
kebijakan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan:
pendanaan bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah; dan pekerjaan
konstruksi mempunyai kriteria berisiko kecil sampai dengan sedang, berteknologi
sederhana sampai dengan madya, dan berbiaya kecil sampai dengan sedang.
- ·
Gubernur
menetapkan kebijakan khusus berupa Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan
Kepala Daerah.
Pasal
ini tentu saja sangat strategis dalam pemberdayaan penyedia jasa daerah, karena
akan memberikan peran yang lebih besar lagi kepada penyedia jasa konstruksi di
daerah untuk bisa lebih berkembang.
Pengaduan
Masyarakat
Pengaduan
masyarakat merupakan salah satu aspek yang diatur dalam PP 22/2020, sebagai
bagian dari pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi. Dalam pasal 139
disebutkan bahwa pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 138 huruf a, dilakukan dengan cara antara lain:
â€melakukan pengaduan, gugatan, dan upaya mendapatkan ganti kerugian atau
kompensasi terhadap dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan jasa konstruksiâ€
(pasal 138 huruf b).
Dalam
pasal 141 ayat (1) diuraikan bahwa: â€Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
139 huruf b, disampaikan oleh masyarakat kepada menteri, gubernur, bupati/wali
kota sesuai kewenangannya. Selanjutnya dalam pasal 142 dijelaskan:
- · Dalam hal
pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1),
disampaikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia dan/atau Kepolisian Republik
Indonesia karena diduga merugikan keuangan negara, maka Kejaksaan Republik
Indonesia dan/atau Kepolisian Republik Indonesia meneruskan pengaduan
masyarakat tersebut kepada menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai kewenangannya;
- ·
Menteri,
gubernur, bupati/wali kota sesuai kewenangannya menyampaikan tanggapan kepada
masyarakat dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender hari
sejak diterimanya pengaduan;
- · Menteri,
gubernur, bupati/wali kota sesuai kewenangannya wajib menyelesaikan pengaduan
dalam jangka waktu paling lama 6O (enam puluh) hari kalender.
Selama ini, peran asosiasi dalam proses
sertifikasi sangat marginal, karena hanya berfungsi sebagai verifikator dan
validator, sedangkan proses sertifikasi dilakukan oleh LPJK. Hal tesebut
menyebabkan asosiasi lesu darah karena â€role-sharing†biaya sertifikasi yang
diterima asosiasi sangat minim, sehingga asosiasi tidak mampu secara optimal
dalam menjalankan fungsi pembinaan terhadap para anggotanya.
UU No 2 Tahun 2017 mengembalikan peran asosiasi
yang lebih besar dalam proses sertifikasi. Pada PP No 22/2020 pasal 41 ayat (3)
ditegaskan bahwa: Proses sertifikasi badan usaha oleh menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui lembaga sertifikasi badan usaha yang
dibentuk oleh asosiasi badan usaha terakreditasi. Dengan diberlakukannya PP No
22/2020 ini maka asosiasi yang terakreditasi akan lebih bergairah dalam
menjalankan fungsi pembinaan dan pemberdayaan para anggotanya.
Dapat disimpulkan, bahwa terbitnya PP No
22/2020 diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja usaha jasa konstruksi.
Hal-hal yang perlu diatur lebih lanjut dalam Permen PUPR, antara lain terkait
dengan: standar remunerasi untuk tenaga terampil (subprofessional), updating
standar remunerasi minimal, dan kesetaraan antara pengguna dan penyedia jasa
dalam kontrak konstruksi.
Di samping itu, Permen PUPR sebagai peraturan
turunan PP No 22/2020 juga diharapkan memberikan aturan yang lebih komprehensif
terkait peran asosiasi dalam proses sertifikasi. Sehingga asosiasi sebagai
ujung tombak pembinaan pelaku usaha jasa konstruksi, dapat berfungsi secara
optimal dalam meningkatkan profesionalisme para anggotanya.
*) Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Inkindo
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul
"Telaah Implikasi PP 22/2020 bagi Usaha Jasa Konstruksi"
Penulis: Oleh Peter Frans *)